Tuesday, November 22, 2016

TOTALITAS

photo by wallpapername

Dalam perbincangan malam itu, ada sekelumit hal yang ingin ku gali dari hatinya. Tapi kupilih satu pertanyaan yang paling menggelitik.

"Kenapa dia mencintaiku begitu sempurna?"

Sempurna bukan tanpa cela, maksudku, you know lah, kita tidak membahas semantik disini. Aku ingin bilang kalau dia memperlakukanku melebihi apa yang pernah aku bayangkan dari seorang kekasih.

Oke, dia bukan orang yang punya harta berlimpah. Tapi dia selalu memberiku hadiah---meski harganya tak mahal. Dia tak pernah membentakku semarah apapun dia. Dia tak pernah mengeluh satu hal pun tentang diriku. Dia selalu "bela- belain" segala hal yang membahagiakanku. Dia selalu mengalah dan mendahulukan hal yang menyenangkan hatiku.

"Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Jawab aja"

"Sudah sepatutnya..."

"Maksud kamu?"

"Itu sudah prinsipku, siapun dia, ketika telah kupilih dan dia memilihku, aku akan melakukan hal yang sama"

"Jadi, bukan karena aku-nya?"

Dia diam sejenak, menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Ya, hanya tersenyum.

"Kamu tidak menyesal?"

Dia mengerutkan dahi

"Maksudku, sudah terlalu banyak yang kamu berikan. Ada banyak hal yang kamu korbankan untukku. Rasa-rasanya, setengahnyapun, aku belum"

"Aku baru akan menyesal jika aku mencintaimu setengah hati, memperlakukanmu dengan tidak elok, dan tidak memberikan yang terbaik yang aku bisa"

"Gombal..."

"Aku pernah mencintai, tapi tak penuh. Dan dia pergi karena itu"

"Bagaimana bila akhirnya aku melakukan hal yang sama? Maksudku, bagaimana jika akhirnya kita pisah, sementara kamu sudah sepenuh jiwa?"

"Bila akhirnya kita tak bersama, berarti itulah takdirnya. Secuilpun kita tak punya daya melawan ketetapan Sang Maha. Yang penting aku sudah memperlakukanmu dengan sebaik-baik diriku---memberi apa yang bisa aku beri, tanpa berharap kau pun begitu. Jadi tak perlu ditangisi, apalagi didramatisasi. Aku tak akan kecewa, apalagi sampai sakit jiwa. Meski kutahu, dibalik pisahnya kita ada pembenci yang puas tertawa."

"Untuk apa semua itu? Maksudku, apa artinya kalau akhirnya orang yang telah kamu sayangi dengan sungguh-sungguh itu pergi---ke dekapan lengan yang lain?"

"Mungkin bagi kebanyakan orang itu kesia-siaan, tapi bagiku tidak. Sebab, satu detik saja dia mengingat aku dalam kepergiannya dan lalu membandingkanku dengan kekasihnya, itu sudah cukup. Berarti aku telah membekas di hatinya. Aku telah menancapkan kenangan indah yang tak akan pernah dia dapati pada yang lain."

"Pede amat..."

"Setidaknya yang membekas adalah kenangan baik, bukan sebaliknya".

"Ah, teori..."

"Bukankah sekarang tengah ku aktualkan?"

"Tapi apa artinya kalau kamu kehilangan?"

"Aku tak pernah merasa kehilangannya, dia yang kehilangan-- setidaknya saat ia sadar nanti"

"Kenapa begitu?"

"Nanti kamu akan mengerti, setidaknya bukan aku yang melangkah pergi"

"Kenapa tak menahannya?"

"Untuk apa menahan orang yang tak ingin tinggal? Bila kepergiannya adalah bahagia baginya, akan ku buka jalan lebar-lebar. Menahan--apalagi memaksa--seseorang untuk bersama, sementara ia tak menemukan kedamaian di dalam kebersamaan adalah penderitaan"

"Maksudnya?"


"Melepaskan untuk memerdekakan"

More story: http://steller.co/peyempuan