photo by wallpapername |
Dalam perbincangan malam itu, ada sekelumit hal yang ingin ku
gali dari hatinya. Tapi kupilih satu pertanyaan yang paling menggelitik.
"Kenapa dia mencintaiku begitu sempurna?"
Sempurna bukan tanpa cela, maksudku, you know lah, kita tidak
membahas semantik disini. Aku ingin bilang kalau dia memperlakukanku melebihi
apa yang pernah aku bayangkan dari seorang kekasih.
Oke, dia bukan orang yang punya harta berlimpah. Tapi dia
selalu memberiku hadiah---meski harganya tak mahal. Dia tak pernah membentakku
semarah apapun dia. Dia tak pernah mengeluh satu hal pun tentang diriku. Dia
selalu "bela- belain" segala hal yang membahagiakanku. Dia selalu mengalah
dan mendahulukan hal yang menyenangkan hatiku.
"Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Jawab aja"
"Sudah sepatutnya..."
"Maksud kamu?"
"Itu sudah prinsipku, siapun dia, ketika telah kupilih
dan dia memilihku, aku akan melakukan hal yang sama"
"Jadi, bukan karena aku-nya?"
Dia diam sejenak, menoleh ke arahku, lalu tersenyum. Ya,
hanya tersenyum.
"Kamu tidak menyesal?"
Dia mengerutkan dahi
"Maksudku, sudah terlalu banyak yang kamu berikan. Ada
banyak hal yang kamu korbankan untukku. Rasa-rasanya, setengahnyapun, aku belum"
"Aku baru akan menyesal jika aku mencintaimu setengah
hati, memperlakukanmu dengan tidak elok, dan tidak memberikan yang terbaik yang
aku bisa"
"Gombal..."
"Aku pernah mencintai, tapi tak penuh. Dan dia pergi
karena itu"
"Bagaimana bila akhirnya aku melakukan hal yang sama?
Maksudku, bagaimana jika akhirnya kita pisah, sementara kamu sudah sepenuh
jiwa?"
"Bila akhirnya kita tak bersama, berarti itulah
takdirnya. Secuilpun kita tak punya daya melawan ketetapan Sang Maha. Yang
penting aku sudah memperlakukanmu dengan sebaik-baik diriku---memberi apa yang
bisa aku beri, tanpa berharap kau pun begitu. Jadi tak perlu ditangisi, apalagi
didramatisasi. Aku tak akan kecewa, apalagi sampai sakit jiwa. Meski kutahu,
dibalik pisahnya kita ada pembenci yang puas tertawa."
"Untuk apa semua itu? Maksudku, apa artinya kalau
akhirnya orang yang telah kamu sayangi dengan sungguh-sungguh itu pergi---ke
dekapan lengan yang lain?"
"Mungkin bagi kebanyakan orang itu kesia-siaan, tapi
bagiku tidak. Sebab, satu detik saja dia mengingat aku dalam kepergiannya dan
lalu membandingkanku dengan kekasihnya, itu sudah cukup. Berarti aku telah
membekas di hatinya. Aku telah menancapkan kenangan indah yang tak akan pernah
dia dapati pada yang lain."
"Pede amat..."
"Setidaknya yang membekas adalah kenangan baik, bukan
sebaliknya".
"Ah, teori..."
"Bukankah sekarang tengah ku aktualkan?"
"Tapi apa artinya kalau kamu kehilangan?"
"Aku tak pernah merasa kehilangannya, dia yang
kehilangan-- setidaknya saat ia sadar nanti"
"Kenapa begitu?"
"Nanti kamu akan mengerti, setidaknya bukan aku yang
melangkah pergi"
"Kenapa tak menahannya?"
"Untuk apa menahan orang yang tak ingin tinggal? Bila
kepergiannya adalah bahagia baginya, akan ku buka jalan lebar-lebar.
Menahan--apalagi memaksa--seseorang untuk bersama, sementara ia tak menemukan
kedamaian di dalam kebersamaan adalah penderitaan"
"Maksudnya?"
"Melepaskan untuk memerdekakan"
More story: http://steller.co/peyempuan