Monday, October 30, 2017

PAHIT

"Kita mulai lagi?" 
"Ya, dari awal lagi, aku janji aku akan berubah...aku akan..." 
"Itu janji yang keberapa kalinya?" 
"Kali ini sungguhan, aku benar-benar akan menjadi seperti yang kamu mau"



Gamang hati ini setiap kali dia berjanji dan memelas dihadapanku. Setiap kali aku ingin terbang, dia rangkul sayapku agar tak mengembang. Lalu, semakin kesini, yang kurasa hanyalah rasa iba, bukan lagi cinta. Juga ada rasa tak tega melukai hati yang telah menahun bersama. Yang paling menyiksa adalah perasaan disangka baik-baik saja, disangka bahagia, padahal tidak.

Bukan tidak ada bahagia, tetapi bahagia yang mereka saksikan adalah semu. Ada beberapa hal yang tidak bisa aku ungkapkan tentangnya, yang membuat aku berpikir ribuan kali untuk menikah dengannya.

Lalu kenapa sampai saat ini aku masih dengannya? Sejujurnya, aku ingin menjadikannya pasangan hidup, menghabiskan sisa usia bersamanya, menua bersama sampai mau kelak memisahkan. Tetapi, dia tidak kunjung mengubah dua-tiga sifatnya yang sangat tidak aku suka. Aku tidak mau berhadapan dengan sifat itu di sisa hidupku, karena aku tahu, keadaan itu pasti akan sangat menyiksa batinku. Mungkin, bagi beberapa orang sifat itu tidak masalah, tetapi bagiku masalah. Kita tidak perlu berdebat soal ini, karena prinsip orang yang berbeda-beda. Jika kau tanya sifat apa itu? Maaf, tidak bisa aku ungkap disini.

Dan seperti yang kita tahu, menikah itu tak melulu soal dua orang, namun juga tentang keluarga. Aku tidak mau menjadi bahan pergunjingan keluarga atau tidak disukai ayah ibu hanya karena sesuatu yang sudah aku tahu sejak awal. Ya, mereka pasti tidak akan suka dengan menantu yang punya sifat 'buruk' seperti itu.

Kenapa aku berpikir demikian? Karena sudah ada contoh salah satu anggota keluarga besar yang mengalaminya. Aku tidak ingin sepertinya, sungguh. Uniknya, sampai saat ini pun ayah ibuku tidak tahu 'sifat buruk' yang dimiliki kekasihku itu. Tidak pernah pula aku ceritakan pada mereka. Semua kusimpan sendiri di dalam hati. Yang mereka tahu, kekasihku itu adalah calon anak mantu mereka.

Yang jelas, sifat itu sudah dia tunjukan ke aku, mungkin setelah menikah 'topeng' itu dia lepas seutuhnya. Keadaan itu semakin menggerogoti perasaan yang ada, tidak ada lagi cinta, yang ada hanyalah rasa iba, yang ada hanyalah perasaan tidak enak jika harus meninggalkan seseorang yang sudah menahun bersama.

Setiap kali aku mencoba ikhlas menerima sifatnya dan memutuskan menerima dia sebagai teman hidup, hati selalu berkata: "kamu yakin?"

Jangan bilang aku tidak mencoba meluaskan hati, membesarkan jiwa untuk menerima dia seutuhnya, tetapi hati tiada henti berbisik: "kamu yakin?" Ya ya ya, aku tahu kalian akan bilang: "kalau cinta, harusnya bisa saling menerima satu sama lain." Aku paham, selayaknya dia, aku pun tidak sempurna, tetapi apakah kamu akan mengambil resiko yang sedari awal kamu sudah tahu akan seperti apa? Bagiku itu konyol.

Ya, konyol. Aku tidak mau masuk kedaftar orang yang terpaksa meneruskan hubungannya ke jenjang pernikahan hanya karena sudah terlanjur, atau tidak tega, atau tidak enak. Menikah terlalu sakral bagiku, aku tidak ingin gagal hanya karena sesuatu yang sedari awal sudah kutahu sebabnya. Aku tidak mau menghardik diriku sendiri nanti dengan: "Apa aku bilang!"

Memang tidak ada jaminan ketika aku memutuskannya, aku akan mendapatkan sosok yang aku mau, namun menerobos peringatan dan palang pintu kereta api adalah tindakan tidak berakal. Apakah kamu akan 'sadar' setelah nanti dilindas kendaraan besi dan baja berkecepatan tinggi yang membawa puluhan gerbong?

Jadi, aku tahu ini pahit baginya, tetapi keputusan adalah keputusan. Prinsip adalah prinsip. Kalaupun juga nanti aku gagal, setidaknya aku akan lebih ikhlas ketika gagal itu dimulai dengan pilihan yang tanpa tekanan batin, tanpa keraguan, tanpa ada rasa was-was sejak awal.

"Maaf, aku tidak lagi percaya, sebaiknya kita putus."

AYAM (18+)

Aku adalah peyempuan yang kau setubuhi berulang kali. Setiap kali berdua, yang kau mau hanyalah menyelipkan kemaluanmu di antara kedua pahaku. Tak adakah yang lain dalam otakmu selain bersetubuh? Kadang-kadang kau ingin di sela payudaraku, tapi ukuranku tak memungkinkan imajinasimu terpenuhi. Sabar, kau pikir selama ini aku juga terpuaskan olehmu? Geli-geli sih, iya. Klimaks? Maaf, bisakah kemaluanmu itu kau perintahkan untuk tak cepat- cepat muntah?