Aku kenal dia lewat applikasi Tinder, kalau kalian belum
tahu, Tinder adalah aplikasi layanan
pencarian sosial berbasis lokasi (menggunakan Facebook) yang memfasilitasi
komunikasi antara pengguna yang saling tertarik, yang memungkinkan kecocokkan
pengguna untuk mengobrol. Aplikasi ini biasanya digunakan sebagai layanan
kencan, dan telah bercabang untuk memberikan layanan yang lebih, sehingga lebih
umum di aplikasi sosial media [Wikipedia]. Jadi, semacam aplikasi pertemanan
yang umumnya dipakai untuk cari pasangan/jodoh. Uniknya, aplikasi ini akan menghubungkan
penggunanya sesuai minat dan kriteria yang kita cari. Istilahnya
"match".
Pendekatan yang terjadi antara aku dan dia hanya terbatas
pada ruang kata media sosial. Ya, hanya sebatas chating. Kami belum pernah
saling telepon sampai benar-benar berencana untuk bertemu. Setelah beberapa
kejujuran, saling terbuka dan mulai ada percikan-percikan rasa, kami
merencanakan pertemuan pertama.
Street Bistro PIM menjadi saksi pertemuan pertama kami. Aku
dengar, jaman ayah dan ibu dulu, orang-orang sering kenalan melalui radio
panggil dengan nama Pager. Untuk bertemu, istilah yang mereka gunakan adalah
kopdar yang merupakan kependekan dari Kopi Darat. Sampai sekarang, istilah
kopdar masih tetap populer.
“Beben.”
“Loly.”
Perkenalan dunia maya itu akhirnya terwujud ke dalam dunia
nyata. Agak sedikit canggung di awal, namun itu wajar adanya.
Sedari awal, dia sudah jujur, kalau dia adalah seorang musisi
yang menyambi usaha jual beli alat musik secara online. Jujur, aku kurang
yakin dengan jalan hidup yang dia pilih. Maksudnya, aku kurang yakin menjalin
hubungan dengan musisi. Tepatnya, aku ragu pada masa depannya. Sementara aku
adalah karyawan di salah satu perusahaan swasta.
Ada banyak pertanyaan dan pernyataan dari teman-temanku. ‘Berapa
banyak sih musisi yang benar-benar bisa sukses? Musisi itu gampang gonta-ganti
cewek. Paling juga mau manfaatin lo.’ Diluar itu semua, aku lebih ragu soal
masa depan yang terkatung-katung. Aku tidak siap dengan keadaan fluktuatif,
kadang banyak, cukup dan seringnya kurang.
Akun bukan matre, tapi aku tidak siap dengan ketidakjelasan.
Lebih baik punya penghasilan flat tapi continue, daripada harus was-was dengan
keadaan yang tidak pasti. Aku akui, jiwaku kurang survival. Salah? Dan aku tahu
dia anak rantau yang masih nge-kost. Kadang aku tak enak hati kalau dia harus
keluar duit untuk sekedar makan berdua, tapi dia selalu kekeh untuk tetap
bayar.
"Kamu, kalau misalnya berat, jangan dipaksakan."
"Maksud kamu?"
“Kamu keluar duit banyak kan seharusnya bisa buat kamu makan
buat beberapa hari."
"Kenapa kamu gak inisiatif?"
"Kamu kan cowok."
"Terus buat apa komplain?"
Mungkin kata-kataku hari itu terlalu jujur hingga merobek
harga dirinya. Pertemuan ke tiga ini terjadi di Starbucks Citos. Sementara
pertempuan ke dua, empat hari yang lalu di Food Garden Kemang. Ketiga-tiganya,
Beben yang selalu membayar orderan kami.
"Nih, lihat!" Sembari menunjukan saldo di
m-bankingnya.
Entah itu bentuk kesombongan atau hanya spontas dari
seseorang yang egonya tersinggung. Wajar-wajar saja pikirku saat itu. Tapi,
yang gak wajar adalah jumlah saldo yang aku lihat.
"Darimana duit sebanyak itu?" Tanyaku keheranan.
Aku mulai berpikir dari mana uang yang nilainya tidak sedikit
itu? Dugaan terkuatku, uang itu berasal dari penghasilannya jual beli alat
musik. Kalau dari Band, tidak mungkin, sebab bandnya adalah pendatang baru yang
tergolong jarang manggung.
“Yang jelas bukan dari mencuri.” Jawabnya ketus. “Tabungan
kamu udah berapa?"
Aku malu saat dia menanyakan jumlah tabunganku. Tabungannya menunjukkan
angka ratusan juta. Sementara aku, mencapai puluhan pun tak pernah. Kenapa tabunganku
kalah sama orang yang penghasilannya tidak tetap? Dia kan harus bayar uang
kost, makan, transport, nongkrong. Kenapa dia masih bisa menyimpan uang sebanyak
itu? Meski begitu, jumlah saldo yang aku lihat tidak menggoyahkan ke
ragu-raguanku apabila menjalin hubungan serius dengan lelaki sepertinya.
"Kamu kuliah lagi aja, terus nanti cari kerja yang
pasti-pasti, gitu."
"Thanks sarannya. Sebaiknya masukan itu kamu sarankan kepada
lelaki selain aku."
Dia tak juga goyah. Sedikitpun. Entah kenapa dia sekeras batu
karang perihal ini. Bukannya bermaksud membelokkan mimpi yang dia punya. Namun,
jika dia ingin lebih serius denganku, baiknya dia bekerja. Bukan bekerja
seperti pekerjaannya sekarang, tapi berkantor, jadi karyawan atau PNS
setidaknya. Aku rasa banyak peyempuan yang berpikiran sama, apalagi yang sudah
berumah tangga, pasti tahu kenapa aku berpikiran seperti ini.
Dan seperti inilah yang baru saja terjadi...
"Daripada kamu terus memakasa aku menjadi yang kamu mau,
lebih baik..."
"Putus?"
"Mungkin berteman lebih baik."
"Aku gak mau."
"Aku gak bisa."
"Tapi, aku mau kamu jadi lebih baik."
"Baik buatmu, tapi itu bukan aku! Aku akui apa yang kamu
sarankan itu bagus. Tetapi, menyarankan seekor buaya berburu mangsa di darat
bukanlah hal yang pas."
"Kamu manusia, bukan buaya!"
"Baiklah, aku sarankan kamu jadi guru TK atau Sekolah Dasar."
"Gak, ah.
"Bukankah menjadi guru itu baik?"
"Aku gak bisa, gak ada bakat, bukan jiwaku menjadi guru."
"Tepat sekali, persisi seperti aku, yang kamu sarankan
ke aku itu bukan jiwaku. Passionku bukan disitu."
“Ah, persetan dengan passion! Kita butuh makan, bayar ini-itu.
Pengeluaran itu pasti, karenanya kita butuh penghasilan yang pasti!”
“Yang aku kerjakan juga pasti, walau nominalnya gak selalu
sama.”
“Lebih baik gaji flat daripada harus was-was akan
pendapatan.”
“Silahkan menjadi robot, aku ingin menjadi manusia merdeka!”
Aku gak bisa berkata-kata lagi. Jauh di dasar hatiku, aku
akui kalau apa yang sedang aku jalani saat ini adalah sebuah rutinitas yang
sangat membosankan. Menjalani pekerjaan
tanpa jiwa raga yang penuh. Hanya berharap gaji demi memenuhi kebutuhan
bulanan. Tapi, aku juga tak punya pilihan lain. Apa semua orang mesti jadi
pengusah atau pedagang atau seniman agar bisa dikatakan merdeka, begitu? Tidak!
Ada orang-orang yang memang suka bekerja kantoran. Ada pula orang-orang yang
suka bekerja di lapangan.
Waktu terasa lambat, pelan-pelan aku sadari bahwa ada rasa
yang semakin tumbuh di dalam hati. Aku suka dia. Aku mulai sayang. Tapi, kenapa
di saat-saat sudah putus begini? Eh, bukan putus, hanya break sebentar. Aku
masih merasa kalau aku adalah kekasihnya.
Keteguhan hati akan jalan dan pilihan hidupnya lah yang
pelan-pelan mencairkan batu hatiku. Kepandaiannya menabung penghasilan juga
patut aku pertimbangkan. Dan, diam-diam aku mengagumi jiwa survivalnya dalam
mengarungi kerasnya ibukota.
Aku cukup resah belakangan ini, dia tak lagi responsif pada
pesan-pesanku. Biasanya, dengan cepat ia baca dan balas. Namun, kini aku harus
mengelus dada lebih sering, menarik nafas panjang karena sabar yang terus tergerus. Jelas,
aku tak suka bila pesanku tidak dibalas atau terlambat dibalas. Sebab aku tahu,
pedagang online tak pernah jauh dari gawainya.
Perasaan ini semakin
hebat
Apa mungkin aku
dipelet?
Inikah yang dikatakan
kesambet?
Oh, Cinta.
Gelisah menggerogoti
setiap sepi
Kenapa aku berantakan
begini?
Kenapa aku resah
begini?
Oh, Rindu
Aku harus bertemu dia
Aku akan jelaskan semua
Tentang perasaanku, tentang
rinduku.
Tujuh hari setelah perdebatan itu, aku dan Beben janjian di
tempat pertama kali kami bertemu. Itu pun setelah aku memohon. Tak penting
kenapa akhirnya dia mau bertemu. Yang penting bagiku adalah bertemu. Bertemu
dia! Seperti biasa, dia selalu datang duluan.
"Kamu gak mau maafin aku?"
"Apa yang perlu dimaafin?"
"Soal aku yang terlalu jujur, maksudku kasar. Terkesan
merendahkanmu. Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu."
"Sudah. Itu buah ketidaktahuanmu. Dengar, yang terlihat
miskin, belum tentu berkekurangan."
"Aku janji tak akan seperti itu lagi. Aku sayang kamu."
"Sayang? Habis minum air aki, ya?"
Memang, baru sekali ini aku bilang sayang ke dia. Itu pun
setelah tak ada hubungan lagi, kecuali hubungan pertemanan. Entah, dia juga
masih anggap aku teman atau apa. Yang pasti, aku adalah mantan pacarnya.
"Persoalan sikapmu, jujur aku sakit. Namun, semua sudah aku
maafkan setelah kita tak lagi bersama."
"Jadi, kamu mau kan jadi pacar aku lagi?"
"Aku pikir, begini saja sudah cukup. Tak perlu ada yang
lebih diantara kita"
"Aku tak mau hanya berteman. Aku sayang kamu.”
"Dengan berteman begini, rasanya lebih baik. Tidak ada
yang baper. Tidak ada yang merasa harus atur ini itu karena merasa memiliki."
"Tiap orang berhak mendapatkan kesempatan lagi!"
"Kalau main Monopoli sih, bisa dapat kesempatan lagi.
Tapi, ini urusan hati. Bukan main-main."
"Tapi, hatiku memilih kamu."
"Aku bisa saja bilang: iya. Tapi bagaimana kalau itu
hanya kepura-puraan?"
"Aku mau yang asli!"
"Yang asli? Kamu sudah tahu jawabannya. Saat ini mungkin
pahit bagimu, tapi aku juga perlu jujur, daripada harus berpura-pura sayang
sementara kenyataannya tidak."
"Kamu tega!"
"Aku tak mau menunda rasa sakit. Semakin cepat rasa
sakit itu datang, semakin membuka kesempatan kepada hati untuk cepat-cepat
sembuh sebelum cinta dan rindu menenggelamkannya lebih dalam. Semakin lama
bersama, semakin dalam rasa, semakin banyak kenangan tecipta. Semakin terbiasa
dengannya, semakin sulit berpisah, semakin sakit bila memang harus berpisah.”
Putus cinta tak selalu berarti putus rasa cinta. Bisa jadi, yang
putus hanya hubungannya, bukan perasaannya. Aku tercenung, tak lagi banyak
bicara. Aku sadari kalau hanya perasaanku yang tak pernah putus mencintainya.
Setetes air mata jatuh di pipi sebelah kananku tanpa aku perintah. Harus aku akui kalau ini mmbuatku terpukul. Tapi,
aku bisa apa? Prinsipnya lebih kokoh dari gunung yang dihantam ombak dan badai di
tengah samudera. Aku pernah mendengar seorang arif berkata: ‘Saling cinta tapi tak bersama, tak lebih
sakit daripada bersama tapi tak saling cinta.’ Ya, itu benar adanya.
Bersama tapi tak saling cinta memang pedih. Tetapi, yang aku rasakan adalah
cinta bertepuk sebelah tangan. Lebih pedih mana?
"Berhentilah memohon kepadaku. Bisa jadi suatu saat
nanti kamu akan mensyukuri perpisahan ini dan menyesal telah memohon-mohon
begitu."
"Maksud kamu?"
"Biar waktu yang menjawab pertanyaanmu."
"Bisa beri aku asalan kenapa kamu tidak mau balikan
lagi?"
"Aku tak bisa bersama orang yang tak percaya padaku soal
masa depan. Aku tak mau gambling pada orang yang tidak mau susah. Sebab saat
masa-masa sulit itu datang, aku tak mau buang tenaga mempertahankan dan meyakinkan
orang-orang yang bermental lembek. Aku juga tak bisa bersama orang yang ragu
soal bagaimana manusia mendapatkan rejeki, karena itu menunjukan betapa ragunya
kamu pada salah satu sifat Tuhan: Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi."
Aku terperanjat oleh sederat kata-kata Beben. Ibarat senjata,
peluru-pelurunya berhasil menerobos rompi anti peluru yang aku pakai, satu
persatu masuk ke jantung. Yang lain menembus helm, mengenai otak, melumpuhkan
keangkuhanku sebagai manusia yang terlalu pragmatis.
Terima kasih Beben, karenamu aku menemukan kebijaksaan yang
tidak aku temukan pada siapapun. Aku memang tak dapat cintamu, tetapi aku dapat
pelajaran berharga darimu.
Note: Cerpen ini akan menjadi salah satu bagian di dalam buku ke-6 Peyempuan. Segera rilis dalam waktu dekat!!
No comments:
Post a Comment