Sunday, August 6, 2017

Beben dan Loly

Hubunganku baru berjalan dua minggu, tapi sudah berakhir.


Aku kenal dia lewat applikasi Tinder, kalau kalian belum tahu, Tinder adalah aplikasi layanan pencarian sosial berbasis lokasi (menggunakan Facebook) yang memfasilitasi komunikasi antara pengguna yang saling tertarik, yang memungkinkan kecocokkan pengguna untuk mengobrol. Aplikasi ini biasanya digunakan sebagai layanan kencan, dan telah bercabang untuk memberikan layanan yang lebih, sehingga lebih umum di aplikasi sosial media [Wikipedia]. Jadi, semacam aplikasi pertemanan yang umumnya dipakai untuk cari pasangan/jodoh. Uniknya, aplikasi ini akan menghubungkan penggunanya sesuai minat dan kriteria yang kita cari. Istilahnya "match".

Pendekatan yang terjadi antara aku dan dia hanya terbatas pada ruang kata media sosial. Ya, hanya sebatas chating. Kami belum pernah saling telepon sampai benar-benar berencana untuk bertemu. Setelah beberapa kejujuran, saling terbuka dan mulai ada percikan-percikan rasa, kami merencanakan pertemuan pertama.

Street Bistro PIM menjadi saksi pertemuan pertama kami. Aku dengar, jaman ayah dan ibu dulu, orang-orang sering kenalan melalui radio panggil dengan nama Pager. Untuk bertemu, istilah yang mereka gunakan adalah kopdar yang merupakan kependekan dari Kopi Darat. Sampai sekarang, istilah kopdar masih tetap populer.

“Beben.”

“Loly.”

Perkenalan dunia maya itu akhirnya terwujud ke dalam dunia nyata. Agak sedikit canggung di awal, namun itu wajar adanya.

Sedari awal, dia sudah jujur, kalau dia adalah seorang musisi yang menyambi usaha jual beli alat musik secara online. Jujur, aku kurang yakin dengan jalan hidup yang dia pilih. Maksudnya, aku kurang yakin menjalin hubungan dengan musisi. Tepatnya, aku ragu pada masa depannya. Sementara aku adalah karyawan di salah satu perusahaan swasta.

Ada banyak pertanyaan dan pernyataan dari teman-temanku. ‘Berapa banyak sih musisi yang benar-benar bisa sukses? Musisi itu gampang gonta-ganti cewek. Paling juga mau manfaatin lo.’ Diluar itu semua, aku lebih ragu soal masa depan yang terkatung-katung. Aku tidak siap dengan keadaan fluktuatif, kadang banyak, cukup dan seringnya kurang.

Akun bukan matre, tapi aku tidak siap dengan ketidakjelasan. Lebih baik punya penghasilan flat tapi continue, daripada harus was-was dengan keadaan yang tidak pasti. Aku akui, jiwaku kurang survival. Salah? Dan aku tahu dia anak rantau yang masih nge-kost. Kadang aku tak enak hati kalau dia harus keluar duit untuk sekedar makan berdua, tapi dia selalu kekeh untuk tetap bayar.

"Kamu, kalau misalnya berat, jangan dipaksakan."

"Maksud kamu?"

“Kamu keluar duit banyak kan seharusnya bisa buat kamu makan buat beberapa hari."

"Kenapa kamu gak inisiatif?"

"Kamu kan cowok."

"Terus buat apa komplain?"

Mungkin kata-kataku hari itu terlalu jujur hingga merobek harga dirinya. Pertemuan ke tiga ini terjadi di Starbucks Citos. Sementara pertempuan ke dua, empat hari yang lalu di Food Garden Kemang. Ketiga-tiganya, Beben yang selalu membayar orderan kami.

"Nih, lihat!" Sembari menunjukan saldo di m-bankingnya.

Entah itu bentuk kesombongan atau hanya spontas dari seseorang yang egonya tersinggung. Wajar-wajar saja pikirku saat itu. Tapi, yang gak wajar adalah jumlah saldo yang aku lihat.

"Darimana duit sebanyak itu?" Tanyaku keheranan.

Aku mulai berpikir dari mana uang yang nilainya tidak sedikit itu? Dugaan terkuatku, uang itu berasal dari penghasilannya jual beli alat musik. Kalau dari Band, tidak mungkin, sebab bandnya adalah pendatang baru yang tergolong jarang manggung.

“Yang jelas bukan dari mencuri.” Jawabnya ketus. “Tabungan kamu udah berapa?"

Aku malu saat dia menanyakan jumlah tabunganku. Tabungannya menunjukkan angka ratusan juta. Sementara aku, mencapai puluhan pun tak pernah. Kenapa tabunganku kalah sama orang yang penghasilannya tidak tetap? Dia kan harus bayar uang kost, makan, transport, nongkrong. Kenapa dia masih bisa menyimpan uang sebanyak itu? Meski begitu, jumlah saldo yang aku lihat tidak menggoyahkan ke ragu-raguanku apabila menjalin hubungan serius dengan lelaki sepertinya.

"Kamu kuliah lagi aja, terus nanti cari kerja yang pasti-pasti, gitu."

"Thanks sarannya. Sebaiknya masukan itu kamu sarankan kepada lelaki selain aku."

Dia tak juga goyah. Sedikitpun. Entah kenapa dia sekeras batu karang perihal ini. Bukannya bermaksud membelokkan mimpi yang dia punya. Namun, jika dia ingin lebih serius denganku, baiknya dia bekerja. Bukan bekerja seperti pekerjaannya sekarang, tapi berkantor, jadi karyawan atau PNS setidaknya. Aku rasa banyak peyempuan yang berpikiran sama, apalagi yang sudah berumah tangga, pasti tahu kenapa aku berpikiran seperti ini.

Dan seperti inilah yang baru saja terjadi...

"Daripada kamu terus memakasa aku menjadi yang kamu mau, lebih baik..."

"Putus?"

"Mungkin berteman lebih baik."

"Aku gak mau."

"Aku gak bisa."

"Tapi, aku mau kamu jadi lebih baik."

"Baik buatmu, tapi itu bukan aku! Aku akui apa yang kamu sarankan itu bagus. Tetapi, menyarankan seekor buaya berburu mangsa di darat bukanlah hal yang pas."

"Kamu manusia, bukan buaya!"

"Baiklah, aku sarankan kamu jadi guru TK atau Sekolah Dasar."

"Gak, ah.

"Bukankah menjadi guru itu baik?"

"Aku gak bisa, gak ada bakat, bukan jiwaku menjadi guru."

"Tepat sekali, persisi seperti aku, yang kamu sarankan ke aku itu bukan jiwaku. Passionku bukan disitu."

“Ah, persetan dengan passion! Kita butuh makan, bayar ini-itu. Pengeluaran itu pasti, karenanya kita butuh penghasilan yang pasti!”

“Yang aku kerjakan juga pasti, walau nominalnya gak selalu sama.”

“Lebih baik gaji flat daripada harus was-was akan pendapatan.”

“Silahkan menjadi robot, aku ingin menjadi manusia merdeka!”

Aku gak bisa berkata-kata lagi. Jauh di dasar hatiku, aku akui kalau apa yang sedang aku jalani saat ini adalah sebuah rutinitas yang sangat membosankan.  Menjalani pekerjaan tanpa jiwa raga yang penuh. Hanya berharap gaji demi memenuhi kebutuhan bulanan. Tapi, aku juga tak punya pilihan lain. Apa semua orang mesti jadi pengusah atau pedagang atau seniman agar bisa dikatakan merdeka, begitu? Tidak! Ada orang-orang yang memang suka bekerja kantoran. Ada pula orang-orang yang suka bekerja di lapangan.

Waktu terasa lambat, pelan-pelan aku sadari bahwa ada rasa yang semakin tumbuh di dalam hati. Aku suka dia. Aku mulai sayang. Tapi, kenapa di saat-saat sudah putus begini? Eh, bukan putus, hanya break sebentar. Aku masih merasa kalau aku adalah kekasihnya.

Keteguhan hati akan jalan dan pilihan hidupnya lah yang pelan-pelan mencairkan batu hatiku. Kepandaiannya menabung penghasilan juga patut aku pertimbangkan. Dan, diam-diam aku mengagumi jiwa survivalnya dalam mengarungi kerasnya ibukota.

Aku cukup resah belakangan ini, dia tak lagi responsif pada pesan-pesanku. Biasanya, dengan cepat ia baca dan balas. Namun, kini aku harus mengelus dada lebih sering, menarik nafas panjang karena sabar yang terus tergerus. Jelas, aku tak suka bila pesanku tidak dibalas atau terlambat dibalas. Sebab aku tahu, pedagang online tak pernah jauh dari gawainya.

Perasaan ini semakin hebat
Apa mungkin aku dipelet?
Inikah yang dikatakan kesambet?
Oh, Cinta.

Gelisah menggerogoti setiap sepi
Kenapa aku berantakan begini?
Kenapa aku resah begini?
Oh, Rindu

Aku harus bertemu dia  
Aku akan jelaskan semua
Tentang perasaanku, tentang rinduku.

Tujuh hari setelah perdebatan itu, aku dan Beben janjian di tempat pertama kali kami bertemu. Itu pun setelah aku memohon. Tak penting kenapa akhirnya dia mau bertemu. Yang penting bagiku adalah bertemu. Bertemu dia! Seperti biasa, dia selalu datang duluan.

"Kamu gak mau maafin aku?"

"Apa yang perlu dimaafin?"

"Soal aku yang terlalu jujur, maksudku kasar. Terkesan merendahkanmu. Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu."

"Sudah. Itu buah ketidaktahuanmu. Dengar, yang terlihat miskin, belum tentu berkekurangan."

"Aku janji tak akan seperti itu lagi. Aku sayang kamu."

"Sayang? Habis minum air aki, ya?"

Memang, baru sekali ini aku bilang sayang ke dia. Itu pun setelah tak ada hubungan lagi, kecuali hubungan pertemanan. Entah, dia juga masih anggap aku teman atau apa. Yang pasti, aku adalah mantan pacarnya.

"Persoalan sikapmu, jujur aku sakit. Namun, semua sudah aku maafkan setelah kita tak lagi bersama."

"Jadi, kamu mau kan jadi pacar aku lagi?"

"Aku pikir, begini saja sudah cukup. Tak perlu ada yang lebih diantara kita"

"Aku tak mau hanya berteman. Aku sayang kamu.”

"Dengan berteman begini, rasanya lebih baik. Tidak ada yang baper. Tidak ada yang merasa harus atur ini itu karena merasa memiliki."

"Tiap orang berhak mendapatkan kesempatan lagi!"

"Kalau main Monopoli sih, bisa dapat kesempatan lagi. Tapi, ini urusan hati. Bukan main-main."

"Tapi, hatiku memilih kamu."

"Aku bisa saja bilang: iya. Tapi bagaimana kalau itu hanya kepura-puraan?"

"Aku mau yang asli!"

"Yang asli? Kamu sudah tahu jawabannya. Saat ini mungkin pahit bagimu, tapi aku juga perlu jujur, daripada harus berpura-pura sayang sementara kenyataannya tidak."

"Kamu tega!"

"Aku tak mau menunda rasa sakit. Semakin cepat rasa sakit itu datang, semakin membuka kesempatan kepada hati untuk cepat-cepat sembuh sebelum cinta dan rindu menenggelamkannya lebih dalam. Semakin lama bersama, semakin dalam rasa, semakin banyak kenangan tecipta. Semakin terbiasa dengannya, semakin sulit berpisah, semakin sakit bila memang harus berpisah.”

Putus cinta tak selalu berarti putus rasa cinta. Bisa jadi, yang putus hanya hubungannya, bukan perasaannya. Aku tercenung, tak lagi banyak bicara. Aku sadari kalau hanya perasaanku yang tak pernah putus mencintainya. Setetes air mata jatuh di pipi sebelah kananku tanpa aku perintah.  Harus aku akui kalau ini mmbuatku terpukul. Tapi, aku bisa apa? Prinsipnya lebih kokoh dari gunung yang dihantam ombak dan badai di tengah samudera. Aku pernah mendengar seorang arif berkata: ‘Saling cinta tapi tak bersama, tak lebih sakit daripada bersama tapi tak saling cinta.’ Ya, itu benar adanya. Bersama tapi tak saling cinta memang pedih. Tetapi, yang aku rasakan adalah cinta bertepuk sebelah tangan. Lebih pedih mana?

"Berhentilah memohon kepadaku. Bisa jadi suatu saat nanti kamu akan mensyukuri perpisahan ini dan menyesal telah memohon-mohon begitu."

"Maksud kamu?"

"Biar waktu yang menjawab pertanyaanmu."

"Bisa beri aku asalan kenapa kamu tidak mau balikan lagi?"

"Aku tak bisa bersama orang yang tak percaya padaku soal masa depan. Aku tak mau gambling pada orang yang tidak mau susah. Sebab saat masa-masa sulit itu datang, aku tak mau buang tenaga mempertahankan dan meyakinkan orang-orang yang bermental lembek. Aku juga tak bisa bersama orang yang ragu soal bagaimana manusia mendapatkan rejeki, karena itu menunjukan betapa ragunya kamu pada salah satu sifat Tuhan: Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi."

Aku terperanjat oleh sederat kata-kata Beben. Ibarat senjata, peluru-pelurunya berhasil menerobos rompi anti peluru yang aku pakai, satu persatu masuk ke jantung. Yang lain menembus helm, mengenai otak, melumpuhkan keangkuhanku sebagai manusia yang terlalu pragmatis.


Terima kasih Beben, karenamu aku menemukan kebijaksaan yang tidak aku temukan pada siapapun. Aku memang tak dapat cintamu, tetapi aku dapat pelajaran berharga darimu.

Note: Cerpen ini akan menjadi salah satu bagian di dalam buku ke-6 Peyempuan. Segera rilis dalam waktu dekat!!

No comments:

Post a Comment